*?Bulir Ibrah dan Hikmah?*
Dinukil dan diselia dari
_*”Matilah Sehidup-hidupnya”*_
Felix Siauw, 30 Oktober 2018
***
Sejak berakad dengan _@ummualila,_ tak sekalipun saya meninggalkan rumah dan dia dalam keadaan marah. Sebab saya takut, itu perjumpaan yang terakhir.
Bila saya pulang tak menemuinya, pasti saya menyesal sebab dia pergi tanpa saya ridhai. Sebaliknya, bila saya yang tak pulang, saya tak bisa bayangkan perasaannya.
Karena itu, tiap kami punya cekcok rumah tangga, yang saya sampaikan selalu, “Ummi, kalau ini yang terakhir, apa ummi ridha kita seperti ini?”, dia selalu memahami.
Satu saat, saya hendak pergi berdakwah, dan seperti biasa menumpang pesawat terbang, saya bertanya biasa, “Andai ini perjumpaan terakhir?”, itu pesan saya.
Dia menjawab, “Ah, Abi juga kemarin bilang begitu, nyatanya juga pulang lagi”, dengan wajah yang senyum dipaksakan dalam kekhawatiran dia bicara.
Lalu saya sambung, “Iya sih, tapi, akan ada masa, ketika Abi bilang begini, lalu Abi benar-benar nggak pulang lagi”. Dia pun terdiam, tak lagi menjawab.
***
Begitulah hakikatnya kehidupan, kita hanya orang yang mengantri di depan pintu kematian. Yang kita tak tahu, kita di tengah, di belakan, atau di depan antrian.
Tiap menit yang kita lalai tanpa diragukan sejatinya adalah persiapan menuju kematian, tiap lisan adalah modalnya, dan tiap amal adalah bekalnya.
Bagi mereka yang kurang keimanannya, berbicara mati itu tabu, sebab mereka menakutkannya. Bagi yang beriman, Allah perintahkan mereka mengingat kematian.
Sebab hanya yang siap matilah, siap menghadapi hidup. Mengetahui bahwa semua ini akan berakhir, itu membuat hidup kita lebih kita hargai, lebih kita seriusi.
Andai ini postingan terakhir kita, andai ini komen terakhir kita, andai ini lisan dan amal terakhir kita. Maka seperti apakah kita ingin diingat saat pergi?
***